top of page

Kebijakan Tarif AS Ancam Industri Nasional, Pemerintah Siapkan Langkah Taktis

Diperbarui: 8 Apr


sosialisasi tarif as

Sosialisasi dan Masukan Asosiasi Usaha Terkait Kebijakkan Tarif Amerika Serikat secara hybrid pada Senin, 7 April 2025


Jakarta, 7 April 2025 – Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) turut serta dalam rapat

koordinasi yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia untuk membahas kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) yang mulai diberlakukan dalam waktu dekat.

Rapat yang dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Perekonomian RI, Bapak Airlangga Hartarto, digelar secara hybrid pada Senin, 7 April 2025, dan dihadiri oleh perwakilan kementerian, lembaga, serta asosiasi usaha yang terdampak. HIMKI hadir secara daring melalui pengurus, antara lain Pak Antonius Suhandoyo dan Ibu Djudjuk Aryati.


Kekhawatiran Dunia Industri Nasional

Pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump menetapkan tarif resiprokal hingga 32% untuk produk ekspor dari Indonesia, termasuk produk kayu, mebel, dan kerajinan home décor. Hal ini sangat memengaruhi industri nasional, mengingat pasar AS merupakan tujuan ekspor utama: mebel Indonesia menyumbang 53,58% dari total ekspor Januari–November 2024 ke AS, sedangkan kerajinan mencapai 44,33%.


Pokok-Pokok Kebijakan Tarif AS

Pada kesempatan ini, Menteri Airlangga Hartarto menyampaikan poin-poin kunci atas kebijakkan Trump sebagai berikut:


  1. Landasan hukum mengenai terbitnya kebijakkan Trump ini adalah:

    1. Ditetapkan melalui IEEPA (International Emergency Economic Power Act), dan NEA (national Emergency Act)

    2. Didasarkan atas pad deklarasi darurat nasional deficit perdagangan AS yang dianggap mengancam keamanan nasional dan ekonomi AS

  2. Tarif Tambahan Awal (General Tariff), yaitu:

    1. Tarif tabahan 10% dikenakan atas seluruh barang impor dari seluruh negara (kecuali pengecualian tertentu)

    2. Mulai berlaku 5 April 2025, pukul 12.01 am EDT

  3. Tarif Tambahan Spesifik (Tarif Resiprokal)

    1. Tarif yang lebih tinggi, bersifat resiprokal dan per negara, dikenakan pada mitra dagang dengan defisit besar terhadap AS

    2. Tarif spesifik untuk tiap negara tertuang dalam Annex I (Kamboja 49%), Laos (48%), Vietnam (46%), China (34%), India (26%), Jeoang (24%), Korea Selatan (25%), Indonesia (32%), Thailand (36%), Malaysia (24%), Filipina (17%), dan Singapura (10%).

    3. Mulai berlaku 9 April 2025, pukul 12.01 am EDT.

    4. Di sini berlaku “The rates of duty established by this order are in addition to any other duties, fees, taxes.. Sebagai contoh, jika tarif awal 5%, dan tarif resiprokal 32%, maka total tarif adalah 37%.

  4. Produk yang dikecualikan dari tarif resiprokal

    1. Barang yang dilindungi oleh 50 USC 1702 (b), misalnya barang untuk kemanusiaan

    2. Produk yang sudah terkena section 232: baja, aluminium, mobil dan suku cadang mobil (mengikuti tarif sebelumnya Maret 2025: 25%).

    3. Produk strategis: tembaga, semi konduktor, produk kayu, farmasi.

    4. Bullion (logam mulia)

    5. Energi dan mineral tertentu yang tidak tersedia di AS

  5. Pengecualian Tambahan:

    1. Barang asal Kanada dan Meksiko yang tidak memenuhi syarat USMCA tetap dikenakan tarif 25% (atau 10% untuk potash dan energi).

    2. Barang USMCA-compliant tetap dapat masuk bebas bea (0%).

  6. Ketentuan lain:

    1. Tarif hanya berlaku untuk komponen non AS dari suatu produk, bila 20% nilainya berasal dari AS

    2. Produk yang masuk ke Foreign Trades Zone harus dideklarasikan sebagai “Privileged Foreign Status”

  7. Fleksibilitas Kebijakan:

    1. Menaikkan tarif jika mitra dagang melakukan pembalasan

    2. Menurunkan tarif jika negara melakukan perbaikan dalam praktik dagang dan mendukung kepentingan nasional AS

    3. Menyesuaikan tarif jika sector manufaktur AS terus melemah.

Respons dan Strategi Pemerintah Indonesia

Untuk mengantisipasi dampak buruk pada industri dalam negeri terutama menurut Pak Menteri Airlangga adalah sector elektronik, pakaian dan alas kaki (karena menyumbang ekspor timggi ke AS), Pemerintah akan melakukan sejumlah langkah taktis diantaranya:


  1. Pertemuan KBRI dengan USTR pada 3 April 2025, di mana pertemuan itu menghasilkan poin-poin utama yaitu:

    1. USTR belum menerima arahan spesifik dari Presiden Trump terkait EO Tarif 2 April.

    2. Presiden Trump ingin solusi global untuk mengatasi trade imbalance

    3. USTR terbuka menerima proposal konkrit dari negara mitra

    4. Besok (jam 12 siang) akan ada pertemuan antara perwakilan Indonesia dengan perwakilan USTR

    5. Indonesia akan menulis surat dan hari Senin ini 7 April 2025, Menko Perekonomian akan bertemu Presiden, jika suratnya disetujui maka hari ini akan segera disampaikan kepada pihak AS melalui USTR

    6. Ditekankan pentingnya elemen waktu – usulan harus disampaikan secepat mungkin


  1. Pertemuan Menko dengan Perekonomian dengan PM Malaysia yang hasilnya adalah:

    1. Indonesia dan Malaysia berkomitmen untuk menjaga kepentingan ekonomi dengan tetap menjaga hubungan perdagangan yang kuat dengan AS

    2. Menko Perekonomian menegaskan strategisnya peran Malaysia selaku Keketuaan ASEAN 2025 untuk mendorong penguatan kerja sama seluruh negara ASEAN dalam menghadapi berbagai tantangan global, termasuk respon atas kebijakan tarif resiprokal AS

    3. Negara anggota ASEAN jika disatukan mempunyai nilai perdagangan trade positive lebih dari USD 250 miliar yang merupakan trade positive kedua terbesar setelah China. Oleh karena itu ASEAN posisinya adalah negosiasi bukan retaliasi sehingga mendorong AS sebagai mitra dimana dalam setiap perteuan AS diundang oleh ASEAN.

    4. AS akan melakukan evaluasi pada tanggal 25 April 2025.


Selain itu, Menko Perekonomian juga menyampaikan respon Pemerintah Indonesia atas kebijakan resiprokal ini, yaitu:

Pemerintah Indonesia siap bernegosiasi dan melihat AS sebagai mitra strategis. Jalur diplomasi dan negosiasi dipilih sebagai solusi yang saling menguntungkan, tanpa mengambil langkah retaliasi terhadap kebijakan tarif, salah satunya melalui revitalisasi perjanjian TIFA (Trade & Investment Framework Agreements).

Adapun sejumlah kebijakan dalam paket negosiasi adalah:

  1. Deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs) melalui:

    1. Relaksasi TKDN sector ICT (Information and Communication Technology) dari AS (GE, Apple, Oracle, dan Microsoft). USTR melihat tarif Indonesia rata-rata 5% kemudian tarif PPn 12% sehingga tax yang dikenakan 17%.

    2. Evaluasi lartas, percepatan sertifikasi halal, dsb

  2. Meningkatkan impor dan investasi dari AS (pembelian migas oleh Pertamina, dsb)

  3. Menyiapkan insentif fiskal dan non fiskal (penurunan bea masuk, PPh Impor, PPn Impor, untuk mendorong impor dari AS dan menjaga daya saing ekspor ke AS.


Pandangan dan Strategi Kementerian Terkait

Menteri Perdagangan, Bapak Budi Santoso pada paparan selanjutnya sempat menggarisbawahi mengenai hambatan dagang Indonesia untuk AS. Disebutkan bahwa AS menerapkan tarif resiprokal kepada Indonesia sebesar 32% karena menganggap Indonesia menjalankan beberapa hambatan dagang kepada AS seperti:

  • Penerapan tarif tidak secara timbal balik

  • TKDN

  • Sistem Perizinan Impor Kompleks

  • Devisa Hasil Ekspor


Disebutkan juga dampak dari penerapan tarif resiprokal AS bagi Indonesia:

  1. Penurunan neraca perdagangan: Hal ini dikarenakan CIF (Cost, Insurance, Freight) produk Indonesia di AS menjadi lebih mahal 32%.

  2. Inflasi barang impor: penerapan tarif resiprokal menimbulkan potensi negara- negara besar lain akan membalas tarif Trump yang berimbas pada kenaikkan harga komoditi dunia, sehingga impor Indonesia menjadi lebih mahal  Imported Inflation

  3. Penurunan Produktivitas: Kenaikkan ongkos produksi swasta Indonesia akan berdampak pada penurunan penjualan dan produktivitas perusahaan.


Indonesia melalui Kementerian Perdagangan memiliki strategi menghadapi tarif resiprokal AS, yaitu:

  1. Langkah Diplomasi: melakukan komunikasi dan negosiasi baik di tingkat pimpinan kedua negara, kabinet/meneteri, maupun tingkat teknis, bersamaan dengan proses deregulasi kebijakan impor dan kebijakan dalam mendorong ekspor. Perlu masukan dari dunia usaha untuk menjembatani kedua belah pihak.

  2. Aktivitas Perjanjian Dagang: perlunya mereaktivasi kembali dan memperbaharui Indonesia – US TIFA yang dibentuk tahun 1996.

  3. Pengalihan pangsa ekspor: Pemerintah Indonesia mendorong penyelesaian perundingan seperti Indonesia – EU CEPA sebagai bentuk trade diversion atau pengalihan pangsa pasar ekspor Indonesia

  4. Antisipasi Limpahan Barang Impor: perlu adanya langkah antisipasi limpahan barang impor dari negara lain. Pemerintah dapat mengoptimalkan Tindakan pengamanan perdagangan (trade remedies) berupa BMAD (Bea Masuk Anti Dumping), dan BMTP (Bea Masuk Tindakan Pengamanan).


Sementara Kementerian Perindustrian melalui Wakil Menteri, Bapak Faisol Reza dari sudut pandang Kementeriannya melihat dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif AS terhadap kinerja Industri Ekspor Indonesia. Dampak yang dimaksud adalah:

  1. Penurunan Daya Saing dan Volume Ekspor Indonesia: Kenaikkan tarif akan meningkatkan harga produk ekspor Indonesia di pasar AS, yang memicu penurunan daya saing produk Indonesia. Hal ini menyebabkan penurunan permintaan dan volume ekspor produk Indonesia ke AS, yang menjadi salah satu tujuan pasar ekspor penting.

  2. Dampak Terhadap Lapangan Pekerjaan (Pengangguran): Penurunan volume produk ekspor menyebabkan penurunan produksi di pabrik-pabrik Indonesia. Hal ini menyebabkan potensi penvurangan tenaga kerja atau bahkan penutupan pabrik, yang akan berdampak negative pada lapangan kerja di sector industry tersebut.

  3. Pergeseran Pasar Ekspor Indonesia: sebagai respon terhadap kenaikkan tarif, produsen Indonesia mungkin akan mencari pasar ekspor alternatif di sejumlah negara lain. Hal ini dapat menyebabkan pergeseran pasar ekspor dan perubahan dalam pola perdagangan internasional.

  4. Ancaman Banjir Produk Impor dari Negara Terdampak: jika negara lain terkena dampak yang sama, maka akan terjadi oversupply di pasar global. Akibatnya produk negara lain berpotensi membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah dan mematikan industri lokal.

  5. Dampak pada Rantai Pasok Global Terhadap Ketersediaan Bahan Baku Industri: Industri (contohnya elektronika, dan otomotif) seringkali melibatkan rantai pasok global yang kompleks. Kenaikkan tarif dapat menganggu rantai pasok ini, menyebabkan peningkatan biaya produksi dan ketidakpastian. Hal ini dapat berdampak negative pada produsen Indonesia yang bergantung pada komponen dan bahan baku impor.


Untuk menanggulanginya, Kementerian Perindustrian mempunyai strategi dalam meningkatkan kinerja ekspor produk industri, antara lain:


  1. Melakukan upaya penningkatan daya saing industri:

    1. Peningkatan efisiensi produksi, dengan mendoromg industry dalam negeri dalam meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi biaya, dan meningkatkan kualitas produk (melalui program restrukturisasi mesin/peralatan)

    2. Pengembangan inovasi dan teknologi dengan mendorong investasi dalam penelitian dan pengembangan untuk menciptakan produk-produk inovatif yang memiliki nilai tambah tinggi (melalui kebijakan industry 4.0)

    3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dengan meningkatkan keterampilan dan kompetensi tenaga kerja industry agar mampu bersaing di pasar global (melalui program pelatihan vokasi industri, dan pelatihan 3 in 1)

  2. Melakukan perlindungan terhadap Industri Dalam Negeri:

    1. Peningkatan penggunaan produk dalam negeri dengan mendorong penggunaan produk-produk dalam negeri melalui program-program promosi dan kampanye serta pengadaan barang jasa pemerintah (melalui progam sertifikasi TKDN)

    2. Penerapan tarif impor yang adil dengan melakukan peninjauan kembali dan menerapkan tarif impor yang adil untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat (melalui kebijakan iklim usaha industry)

    3. Penguatan Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan meningkatkan penerapan dan pengawasan SNI untuk memastikan kualitas produk dalam negeri yang memenuhi standar internasional (melalui progam standardisasi industri)

  3. Melakukan Upaya Penguatan Struktur Industri

    1. Pengembangan industry hulu dengan memperkuat industry hulu untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor (melalui program hilirisasi industry)

    2. Pengembangan industry kecil dan menengah (IKM) melalui pengembangan dukungan kepada IKM agar dapat meningkatkan daya saing dan berpartisipasi dalam rantai pasok global (melalui program pemberdayaan IKM).

    3. Pengembangan Kawasan Industri yang terintegrasi dan efisien untuk menarik investasi dan meningkatkan produktivitas (melalui program pengembangan kawasan industri).

 
 
 

Comments


bottom of page