Ketika Kebijakan Karantina Mengancam Ekspor Seni Ukir Kayu Indonesia
- HIMKI Pusat
- 12 menit yang lalu
- 2 menit membaca

JAKARTA – Di sebuah bengkel kecil di Jepara, seorang pengrajin tua mengelap keringat di dahinya sambil memeriksa ukiran terakhir sebelum dikirim ke Amsterdam. Tiga generasi keluarganya telah menghidupkan kayu jati menjadi karya seni bernilai tinggi. Namun hari ini, dokumen karantina menumpuk di meja kerjanya, menjadi bayang-bayang baru bagi kelangsungan usahanya.
"Ini sudah jadi meja, bukan batang pohon lagi. Kenapa harus diperiksa?" keluhnya.
Cerita ini menggambarkan kegelisahan industri mebel dan kerajinan Indonesia yang kini dihadapkan pada Peraturan Badan Karantina Nomor 5 Tahun 2025. Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menyebutnya sebagai "rintangan tak terduga" bagi ekspor nasional.
Dampak Kebijakan Karantina Terhadap Industri Kreatif
Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, menyampaikan kekecewaannya. "Ini seperti memaksa seorang pelukis mengurus izin menebang pohon untuk membuat kanvas," ujarnya. Produk jadi seperti mebel ukir dan kerajinan rotan, yang telah melalui proses panjang dari pengeringan hingga finishing bernilai seni, kini diwajibkan menjalani prosedur karantina yang sama dengan bahan mentah.
Ironisnya, kebijakan Karantina ini diterapkan saat pemerintah gencar mempromosikan ekonomi kreatif sebagai sektor unggulan ekspor. Pada 2024, sektor mebel dan kerajinan menyumbang devisa hingga USD 4,2 miliar, tumbuh stabil di atas 10% per tahun. Namun, dengan pemberlakuan biaya sertifikasi tambahan dan prosedur yang kompleks, angka tersebut kini terancam menurun.
"Buyer internasional tidak akan menunggu. Mereka akan beralih ke Vietnam atau Malaysia yang lebih efisien," tegas Sobur.
Keluhan juga datang dari pengrajin kecil di Jepara, Cirebon, dan Bali. Biaya tambahan untuk memenuhi syarat karantina bisa mencapai 15% dari harga jual. Waktu pengiriman pun melor, mengancam pembatalan kontrak oleh buyer internasional yang menuntut ketepatan waktu.
Mencari Solusi Bersama
HIMKI tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi:
Penundaan implementasi aturan hingga ada mekanisme yang lebih memahami karakter industri kreatif.
Pengecualian untuk produk jadi yang telah melalui proses manufaktur lengkap.
Harmonisasi kebijakan antar-kementerian agar tidak saling bertentangan.
"Kami ingin duduk bersama pemerintah untuk mencari jalan tengah. Jangan sampai niat baik justru merugikan industri," kata Sobur. Menurutnya, dunia usaha membutuhkan regulasi yang cerdas—yang mampu membedakan kayu gelondongan dengan produk seni bernilai tinggi.
Masalah ini tidak hanya berdampak pada HIMKI dan pelaku industri, tetapi juga pada lapangan kerja dan pendapatan negara. Sobur mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk media dan akademisi, untuk ikut mengawal kebijakan ini.
"Kita tidak boleh diam saat warisan budaya dan ekonomi kreatif kita terancam," tegasnya.
Dengan mewakili lebih dari 5.000 pelaku industri mebel dan kerajinan di Indonesia, HIMKI menekankan pentingnya kebijakan yang mendukung keberlanjutan industri kreatif nasional.
Commentaires